“Jadi, kapan kita bisa membuatnya?” Tanya Eunra kepada
anggota kelompok lain, memulai percakapan.
“Terserah saja.” Jawab Onew yang duduk paling dekat dengan
Eunra, yang lain mengiyakan.
“Hmm, kalau aku hari Sabtu tidak bisa.” Jawab Minji. “Bagaimana
kalau hari Jumat? Jam 5, di rumah Eunra.” Minji menatap yang lain satu per
satu, meminta persetujuan.
“Oke. Jumat, jam 5, rumah Eunra.” Hyejin menyimpulkan setelah
melihat tidak ada yang tidak setuju. Sudah biasa bagi mereka mengerjakan tugas
kelompok di rumah Eunra, jadi tidak ada alasan untuk tersesat. Tapi, sepertinya
yang punya rumah agak tidak setuju.
“Tunggu! Wait! Kenapa harus di rumahku lagi?” Sela Eunra ketika
yang lain sudah akan bersiap pulang. “Kenapa tidak di rumah Onew atau Taemin
saja? Kita belum pernah kesana.” Dia protes karena setiap kali mengerjakan
tugas kelompok selalu saja di rumahnya.
“Boleh saja. Tapi, tidak ada service ala restoran.” Onew
menjawab sambil terkekeh.
“Noona! Noona tidak
mau melihat ku kelaparan, kan? Mana bisa aku mengerjakan tugas tanpa mengisi
perut. Ayolah, noona.” Cetus Taemin.
“Tentu tidak, Taeminie. Yah, sudahlah, di rumahku saja.”
Eunra mengalah dengan gampangya karena alasan – atau tepatnya, bujukan – Taemin.
Taemin adalah anggota termuda di kelompok mereka, dan Eunra – yang lebih tua
dua tahun – sangat menyayanginya seperti adik sendiri. Sikapnya yang penurut dan
manis mampu meluluhkan hati para noona.
“Anything for Taemin.” Ucap Hyejin, entah menyindir atau apa.
“Kenapa? Kau cemburu, Hyejin-ah?” Eunra menyipitkan matanya
dan menatap Hyejin sambil menyeringai. Hyejin ini lahir ditahun yang sama
dengan Taemin hanya berbeda bulan saja. Mereka masuk kelas akselerasi sewaktu
Junior High school, makanya bisa sekelas dengan siswa yang lebih tua setahun
atau dua tahun.
“Sejak kapan? Bukannya memang seperti itu? Unnie selalu
memanjakan Taemin. Sudah, bilang saja pada ummamu untuk menjadikannya adik
angkat.” Ucap Hyejin santai.
“Iya. Aku sudah mengusulkannya pada umma, tapi ‘mengurusmu
sendiri saja umma sudah kelelahan, apalagi dua!’. Begitu katanya.” Eunra
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir kuda.
“Kalau begitu aku saja, noona~” Usul Onew yang berdiri d
samping Eunra. Dia menunjuk dirinya sendiri dengan mengerjap-ngerjapkan matanya
sambil tersenyum. Nada bicaranya dibuat seimut mungkin. Tapi, sayangnya jauh
dari standar.
Eunra menyentil kening Onew, “Aww! Wae? Aku kan lebih muda
setahun.” Onew mengelus keningnya yang merah. Kontras dengan warna kulit
pucatnya.
“Menjijikkan!” Tukas
Eunra menjauhkan jaraknya dari Onew. “Kau harus menjadi seperti ini kalau mau
menjadi dongsaengku!” Eunra mengarahkan jarinya pada Taemin yang dari tadi
tersenyum melihat tingkah laku noona dan hyungnya. “Atau seperti ini!” Jari
telunjuknya berpindah pada Minji. Minji yang menyadari dirinya di tunjuk
menatap Eunra bingung. Kepalanya dimiringkan ke kanan, kebiasaan kalau ada
sesuatu yang tidak dia mengerti.
“Na? Wae?” Tanyanya dengan tatapan polos. Kulit putih pucat,
pipi chubby, badan kurus, mata besar. Tidakkah itu bisa dibilang imut?
“Lihat. Seperti itu. Bagus Minji-ah! Aigooo~ Neomu kyeopta~”
Eunra mencubit pipi Minji, menggoyangkannya ke kanan-ke kiri.
“A, aaa.. apuda.” Minji mengelus pipi chubbynya dan memajukan
bibirnya, berpura-pura kesal dengan perlakuan Eunra yang sudah menjadi
rutinitas. Wajahnya kemudian berpaling pada Onew. “Ku sarankan jangan mau
menjadi dongsaeng Eunra kalau kau tidak mau di siksa seperti ini tiap hari.
Sungguh menyakitkan.” Minji menggelengkan kepalanya, mendramatisir keadaan. Taemin
dan Hyejin pun tertawa mendengar pengakuannya. Sementara wajah Onew sudah
terlanjur memerah ketika Minji mendapatinya sedang tersenyum sambil menatap
Minji.
>>>
“Jinjja! Can’t we breathe just for one day?” Keluh Minji di
tengah jalan.
“Noona, sini tasnya, biar ku bawakan. Kau sepertinya lelah
sekali.” Taemin menjulurkan tangannya di dekat tas Minji.
“Ah, tidak usah. Tidak berat, kok.” Minji tersenyum kecil,
meyakinkan Taemin kalau dia baik-baik saja. Tapi tiba-tiba tangan seseorang
meraih tas Minji dari belakang.
“Tidak berat apanya?” kata orang itu. “Hmm, apa saja yang kau
masukkan di sini? Batu?” Onew menggelengkan kepalanya. “Biar aku saja yang
membawakan tasmu.”
Minji menatap Onew dengan ragu. Ia merasa tidak enak
membiarkan Onew membawakan tasnya. Walau Onew sendiri sebenarnya tidak keberatan
- secara harafiah.
“Kalau begitu bawakan
tasku juga, hyung. Nih.” Dengan seenaknya Taemin menyerahkan tasnya pada Onew.
Dan bodohnya Onew meraih tas yang hampir terjatuh kalau dia tidak menangkapnya.
“Ya! Kau kira aku ini pembantumu?” Onew menggerutu. Tidak
terima dengan perlakuan si maknae.
“Kan tidak adil kalau hanya Minji. Hyung tidak lihat? Aku
juga lelah. Tugas-tugas ini sungguh menguras tenagaku.” Omel Taemin.
Pada akhirnya, Onew mengalah dan berjalan sambil menenteng
dua tas, plus tasnya sendiri yang di dalamnya terdapat sebuah laptop 14”.
“Dasar maknae.” Gumam Onew sambil menatap kedua manusia di depannya yang sedang
tertawa bersama.
>>>
Hyejin baru saja akan masuk ke sebuah gedung ketika sebuah
suara memanggil namanya. Suara gaduh itu terdengar mendekat ke arahnya. Hyejin
memalingkan wajahnya ke belakang dan mendapati Minji tersengal-sengal.
“Atur dulu nafasmu, Minji. Kau habis berlari?”
“Ah, ne. Kita… terlambat.” Ucapnya sambil memegang lutut. Hyejin
mengerutkan keningnya, lalu melihat jam di ponsel.
“Kau memajukan jam tanganmu lagi?” Selidik Hyejin.
Lima detik kemudian Minji menepuk dahinya ketika mengingat
sesuatu. Ia menertawakan dirinya yang ceroboh. Hyejin mendesah melihat kelakuan
temannya. Namun, ia maklum dengan sifat ceroboh Minji yang entah karena apa
sering memajukan jam tangannya dan ditambah lagi sifat pelupa yang belum sembuh
sejak 2 tahun lalu mereka berteman. Hyejin sendiri heran, kenapa orang seperti
ini harus
ia akui, kemampuan belajar Minji tidak kalah dengannya yang notabene pemegang
juara umum termuda dalam sejarah Neul Paran High School 2 tahun berturut-turut.
“Ahh, segar.” Ucap Minji setelah meneguk susu stroberi dingin
yang ia beli di vending machine ruang
tunggu Language College, tempat mereka kursus.
“Minji, tahu arti kalimat ini?” Tanya Hyejin sambil menunjuk
segaris kalimat dalam bahasa Inggris.
Minji membacanya sekilas dan memberitahukan artinya tanpa
banyak berpikir. Bahasa Inggris memang bukan pelajaran yang sulit untuk Minji. Pengalaman
tinggal di London selama 3 tahun memudahkannya untuk mengerti bahasa yang susah
dipelajari bagi orang Korea. Ditambah lagi Minji sering bercakap-cakap dengan
Key, teman sekelasnya, menggunakan bahasa Inggis. Kalau dipikir-pikir, ia
memang sudah tidak perlu kelas tambahan untuk pelajaran ini. Tapi, entah kenapa
ia masih belum merasa puas dengan kemampuannya.
Minji mendapati botol susu stroberinya telah kosong tepat
ketika bel kelas berbunyi. Mereka berdua beranjak ke kelas Sidney di lantai
tiga. Namun, sosok seseorang yang tidak asing tertangkap oleh mata Minji. Orang
itu sedang duduk membelakanginya dan sedang terlibat percakapan dengan salah
satu guru. Minji memelankan langkahnya dan membiarkan Hyejin naik tangga lebih
dulu. Minji menghembuskan nafasnya dengan kuat sambil terseyum samar, walaupun
begitu, matanya memandang orang itu nanar. Ia kemudian melesat pergi sebelum
orang itu melihatnya. Setidaknya ia belum akan melihatnya hari ini.
>>>
Malam itu Minji sedang tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk
sambil menatap keluar jendela, walau tidak ada hal menarik yang dapat di lihat
karena gelap. Berbagai hal terlintas dalam pikirannya. Orang yang ia lihat di
tempat kursus. Seseorang yang walaupun ia ingin namun tidak bisa ia lupakan.
Kalau saja ia diberikan satu permintaan, ia ingin menghapus ingatannya tentang
orang itu yang telah membuatnya tidak bisa berpaling.
Minji mengambil sebuah buku di laci meja belajarnya. Buku
yang telah dimilikinya sejak 4 tahun lalu. Buku yang hampir penuh oleh
tulisan-tulisan tentang keseharian Minji. Ia hanya menyisakan satu halaman di
paling belakang dan ia berjanji tidak akan menuliskan apapun di atasnya, sampai
waktu yang ia rasa tepat. Sampai hatinya yakin.
Ia tersenyum tipis ketika membaca kata-kata yang terpampang di
sampul depan. Lalu ia menengadah ke langit sambil mengeluarkan nafas dari
mulutnya.
“Na jinjja babo saramiya.” Bisiknya dengan nada merenung.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel yang memekakkan telinga
sampai hampir menjatuhkan Minji dari kursinya. Ia meraih ponselnya di atas meja
belajar sambil mengumpat dalam hati. Sebuah pesan singkat. Dari Eunra. Segera
setelah membacanya, Minji menyalakan komputernya dan membuka browser, lalu
mulai mencari apa yang di tugaskan ketua kelompok mereka.
>>>
Minji melahap sarapannya dengan malas sambil sesekali
menguap. Tugas-tugas sekolahnya membuatnya harus tidur tengah malam akhir-akhir
ini. Di tambah lagi penyakit anemia yang membuatnya sulit tidur.
“Umma sudah bilang, banyak minum air putih, tapi kau tidak
mau dengar.” Ujar Nyonya Lee dengan nada khawatir. Lalu ia mendesah. “Lihat
wajahmu, pucat sekali, Minji-ya.”
Minji tidak berkata apa-apa. Kalimat-kalimat seperti itu
sudah sering didengarnya sampai ia kehabisan kata-kata untuk beralasan. Bahkan
belakangan ini ibunya semakin sering mengingatkannya untuk minum air putih.
Tidak mau berdebat dengan ibunya, Minji menegak susunya sampai habis, lalu
beranjak ke ruang tamu di bagian depan rumah. Ia mengambil bantal sofa dan
memeluknya, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa broken white sambil sesekali melihat jam tangan hitamnya.
Tidak lama kemudian sebuah Hyundai Equus hitam keluaran
terbaru berhenti di depan rumah Minji. Setelah mendengar bunyi klakson yang
sudah tidak asing lagi, ia langsung melesat keluar sambil berpamitan pada
ibunya. Mobil itu pergi setelah membunyikan klakson dua kali.
“Kita terlambat.” Ujar Minji pada Key yang duduk di jok
samping pengemudi. Ia tidak bermaksud menyinggung Key yang datang beberapa
menit lebih lama dari biasanya. Nada bicaranya terdengar sedikit cemas.
“Santai sedikit Minji. Lima menit lebih lama tidak akan
membuat kita terlambat.” Sahut Key cepat. “Ahjussi, cepat sedikit.”
“Asal kau tahu Key, aku sedang tidak ingin berurusan dengan
Kang sonsaengnim. Kau belum pernah, jadi kau tidak tahu rasanya sit up 100 kali
ditambah lagi hukuman-hukuman yang lain. Oh, no-no.” Minji menggelengkan
kepalanya, menepis ingatan buruk tahun lalu. Hanya karena waktu itu jam dinding
kamarnya mati, ia harus menderita di pagi hari yang dimana mentari bersinar
dengan hangatnya. Sejak saat itu ia bersumpah di bawah bendera Korea Selatan,
tidak akan terlambat masuk sekolah.
“That’s your fault. Apa gunanya aplikasi alarm di ponselmu?”
Tidak ada jawaban. Key lalu melirik dari kaca spion dan mendapati Minji sedang
mengerucutkan bibirnya, tangannya ia lipat di depan dada. “Biar ku tebak. Kau
pasti lupa?”
Tetap tidak ada balasan, dan bagi Key itu berarti iya. “For
God’s sake. Minji, berapa umurmu?” Gurau Key di sela tawanya.
Minji tertawa hambar. “Lucu sekali.” Ujarnya datar.
“Well, now if we are late, that would be your fault.”
“We won’t.”
>>>
“Hah, hah... Hah.”
“Kim Kibum! Kenapa kau berhenti!” Teriak Kang sonsaengnim
dari ujung lapangan Neul Paran High School.
Tidak mau kena pukulan maut dari Kang sonsaengnim, Key
melanjutkan larinya.
“Harabeoji.” Celetuk Minji dari belakang yang lalu menambah kecepatan
larinya seolah menantang Key bertanding.
“Ya!” Key mengejar Minji yang berlari dengan lumayan kencang.
“Bagaimana? Pagi yang indah bukan?” Gurau Minji pada Key yang
sudah berada berlari di sampingnya. Ia tertawa tipis seolah-olah sedang tidak
di hukum.
“Kau menikmatinya?” Tanya Key tidak percaya. Beberapa saat
yang lalu ia bercerita betapa tidak inginnya ia di hukum. Tapi lihat sekarang
siapa yang bersemangat. Terkadang Key tidak mengerti dengan tipe AB seperti
Minji.
“Di hukum? Absolutely not. Aku hanya senang melihatmu
kelelahan. Padahal baru satu putaran. Seperti harabeoji saja.” Goda Minji. “Aku
duluan ya!”
“Cih, aku tidak tahu dia bisa berlari seperti itu.” Gumam Key
sedikit kesal. Dalam hati ia bersumpah tidak akan pernah berurusan dengan Kang
sonsaengnim, sang guru olahraga yang adalah mantan pelatih militer.
Masih tersisa dua putaran lagi, dari total lima putaran, yang
harus diselesaikan Key, dan satu putaran lagi untuk Minji. Ia lalu melirik ke
belakang mencari keberadaan Minji yang berlari sangat pelan jauh darinya. Padahal
beberapa saat yang lalu, Minji berlari seperti atlet sungguhan. Key lalu
menyadari adanya keanehan. Namun sebelum ia menebak-nebak apa itu, Minji sudah
lebih dulu tumbang, tergeletak tak berdaya. Key mengubah arah larinya, dan
berlari lebih cepat ke arah Minji.
Murid-murid yang berlari di belakang Minji mulai panik, ketika suara berat dan tegas dari arah belakang terdengar. “Bawa dia ke ruang kesehatan!” Perintah Kang sonsaengnim pada
seorang murid.
>>to be continueee~